Sudah menjadi kisah usang, dulu media mengalami pemandulan dan pemberangusan total oleh kekuasaan pemerintah. Kebenaran dan ketidakbenaran rujukannya adalah pemilik kekuasaan. Ketika itu pula informasi mesti bertujuan mengamankan kepentingan kekuasaan. Dan bila muncul informasi yang tidak sesuai dengan selera atau kepentingan pemerintah, akan dikategorikan penghinaan. Ingat pula, penentu kategori ini tentu saja bukan publik, tapi si pemilik kekuasaan.

Serta Surat Izin Usaha Penerbitan Pers, (SIUPP) sebagai syarat mutlak kehadiran media, bisa dicabut oleh sang pemilik kekuasaan. Wajar saja, media yang ingin tetap hidup di era seperti itu mesti menahan diri berpihak penuh untuk idealisme kepentingan publik.Apalagi ketika di hadapkan pada benturan kepentingan penguasa. Jika pun memang masih ada media yang berusaha merealisasikan idealisme untuk kepentingan publik sebagai tujuan besar dan utamanya, akan berhadapan dengan kesediaan terbunuh. Dengan keadaan seperti itu, wajar pula umumnya media menjadi kumpulan aktifitas jurnalis Kepiting atau jurnalis Onta.

Namun, masa sedemikian sudah berakhir dengan ditiadakannya SIUPP, lalu dibubarkannya instansi pemerintah yang mengenggam kekuasaannya, yakni Departemen Penerangan. Lalu media massa tumbuh cepat, tak hanya di tingkat pusat juga di daerah. Media berbentuk cetak maupun media penyiaran apakah radio atau televisi.

Siapapun bisa melahirkan media. Beragam media cetak pun patah tumbuh hilang berganti. Baik berbentuk edisi harian koran maupun tabloid, serta majalah. Yang menjadi pertanyaan adalah seberapa kuat media itu mampu tumbuh dan berkembang atau bertahan. Kenyataannya, tidaklah banyak. Banyak media yang tinggal untuk dikenang, alias sudah almarhum. Yang menjadi penentunya, berupa kekuatan penguasaan pasar, permodalan, kelengkapan sumberdaya manusia, networking dan kepercayaan publik.

Adalah fakta pula, media-media akan terus berkembang secara kuantitas. Namun, pertanyaan penting turut menunggu jawab, perkembangan itu apakah diikuti perkembangan kualitas media dengan patokannya idealisme pers?

Tentulah sudah sangat umum diketahui makna idealisme pers, memuarakan tujuan aktivitas jurnalistik untuk kepentingan publik. Karena pers dipercaya memiliki kekuatan luar biasa menggalang opini publik. Selanjutnya sesuai perjalanan waktu akan membangun nilai yang menjadi anutan publik. Bahkan, ada pula orang yang beranggapan, nilai yang dibangun oleh media bisa mengkristal menjadi ideologi.

Lalu, sejauh mana kita selaku insan pers menempatkan diri untuk tidak terjebak dan terkontaminasi dari kepentingan-kepentingan di luar konsep idealisme? Terutama sekali para pemilik media, seberapa kuat mampu tetap kukuh? Meskipun dalam tataran idealis, jajaran pemilik media mestinya mengagungkan pemahaman bahwa redaksi sebagai kelompok yang melahirkan produk idealisme itu. Wujudnya, tentu saja tidak akan mengintervensi kebijakan redaksi, sekalipun bertentangan dengan kepentingan dirinya, maupun kepentingan komersialnya.

Namun, mari kita bicara tentang penerapan idealisme pers. Yang akan tercapai, selama pers membingkai langkah kerjanya secara profesional dengan etika yang disepakati dan dibuatnya sendiri, yakni etika pers. Baik dalam pencarian berita, penyajian berita dan pasca penyajian berita.

Dalam proses pencarian berita sekalipun investigatif, jurnalis tentu telah punya teks book tentang cara-cara jujur, praduga tak bersalah, tidak mengintip apalagi memergoki narasumber memaksa konfirmasi. Begitu pula penyajian berita hampir semua etika pers menekankan aspek-aspek pentingnya fakta adalah keutamaan berita. Menghindari sikap yang dapat mengimplementasikan nilai-nilai negatif pada individu dan masyarakat. Tak mencampuradukkan fakta dan opini. Dan keseimbangan dalam menyajikan berita (cover both side). Begitu pula pasca penyajian berita.

Di era persaingan antar media begitu kuat saat ini. Kepentingan ekonomi menjadi urutan utama perjalanan langkah media. Karena itu untuk mampu bertahan dan menang dalam penguasaan pasar, tidak cukup dengan idealisme pers, melainkan mesti menganut idealisme komersialis.

Dalam anutan sedemikian, media akan bertumpu pada apapun yang disuka oleh publik. Meski pun tak jarang media salah menafsirkan selera publik yang sesungguhnya. Sehingga apa yang disajikan justru melabrak nilai-nilai yang dianut publik, yang kadang membuat sebagian publik muak, mual bahkan dicederai. Dalam bingkai idealisme komersial, ukurannya adalah, yang penting laku dengan menghitung seberapa jumlah oplah. Atau rating tinggi yang akan menentukan pasokan iklan. Yang selanjutnya menjadi darah bagi penghidupan insan media.

Meskipun melangkahi ukuran-ukuran idealisme dalam etika pers. Entah menyadari ataukah tidak, dengan idealisme seperti itu, media telah melakukan kekerasan. Tentu saja bukan dengan otot, bedil dan parang, tapi melalui tulisan memiliki dampak luar biasa “dosa” ini.