Beberapa hari yang lalu Saya meminta tolong kepada salah seorang sahabat baik, untuk meminta izin merasakan sedikit kehidupan di dalam penjara. Walaupun Beliau mengizinkan, Saya baru sadar kalau Saya bukan orang yang suka merepotkan orang lain, dan resiko membuat ku ragu. Akhirnya, Saya mencoba meminta bantuan sahabat yang lain, “Tak perlu masuk penjara untuk mengetahui penjara,” kata teman Saya sambil beranjak ke rak buku. Beliau mengambil sebuah buku yang berjudul Medaeng Undercover, yakni tulisan mantan napi yang pernah menghuni rutan kelas I Surabaya, menguak kehidupan penjara yang belum banyak diketahui khayalak

Walaupun tidak merasakan langsung, setelah membaca buku itu paling tidak Saya bisa mengetahui kehidupan di balik tembok ‘mengerikan’ itu. Penjara yang keras. Siapa yang kuat, dia berkuasa. Siapa yang dekat dengan aparat, dia memperoleh perlakuan istimewa. Siapa yang punya banyak uang dia tenang. Orang-orang pelanggar hukum itu diperlakukan secara kurang manusiawi karena dianggap sampah. Sebagian yang lain dimanfaatkan, sebagaimana sampah yang bisa diuangkan. Penjara yang berfungsi sebagai alat jera para pelanggar itu, tidak lebih hanyalah alat penegak hukum untuk mencari keuntungan. Tentu saja, Saya yakin tidak semua aparat itu melenceng

Penjara adalah tempat di mana orang-orang dikurung dan dibatasi berbagai macam kebebasan. Penjara umumnya adalah institusi yang diatur pemerintah dan merupakan bagian dari sistem pengadilan kriminal suatu negara, atau sebagai fasilitas untuk menahan tahanan perang. Kebebasan secara umum dimasukan dalam konsep dari filosofi politik dan mengenali kondisi dimana individu memiliki kemampuan untuk bertindak sesuai dengan keinginannya.(www.wilkipedia.org)

Kehidupan dalam penjara, tak ubahnya seperti kehidupan dalam asrama pendidikan (asrama 24 jam). Bedanya, dalam kehidupan di penjara, para penghuni biasanya melebihi kapasitas penjara itu sendiri; fasilitas yang tersedia semuanya serba minim bahkan dapat dikatakan kurang memadai, baik makanan, kondisi kamar, fasilitas kesehatan, penerangan dan sebagainya. Dengan adanya perasaan senasib dan sepenanggungan (merasa sebagai orang yang paling miskin/sengsara), identitas kolektif pun lambat laun mulai tertanam.

Asrama pendidikan sebagai “total institution” dengan konsep sentralnya yaitu ‘pengasingan atau isolasi sosial’ secara total, jika mulai dirasakan ‘longgar’, di mana para penghuninya tidak lagi merasa terisolasi, maka fungsi “resosialisasi” pun (menanamkan pola-pola kelakuan dan norma-norma atau nilai-nilai sosial “baru”) tentu tidak akan berjalan sebagaimana mestinya.

Kegagalan penjara me-resosialisasi pola kelakuan karena tidak menjalankan konsep “isolasi total” secara konsisten. Institusi penjara berhasil menanamkan identitas kolektif yang baru, tetapi gagal merehabilitasi pola kelakuan narapidana. Sehingga ketika para terpidana dari segala kasus, misalnya pencurian, perampokan, narkoba sampai pembunuhan bertemu di dalam penjara, meraka saling bertukar pengalaman atau ilmu. Sehingga banyak narapidana “kambuhan” atau semakin meningkatnya kualitas dan bertambah luasnya jaringan “kejahatan” mereka.

Ditambah lagi kerasnya kehidupan didalam penjara, Maka tidak heran jika pada saatnya mereka keluar penjara, “terkadang” kita menemukan mereka lebih jahat dari sebelumnya dan kembali melakukan kesalahan yang sama karena selama bertahun-tahun mereka sudah terbiasa dengan kekerasan sehingga membentuk hati tanpa perasaan dan nurani

Dari imaji di atas, Saya lalu menarik kesimpulan singkat kalau penjara ibarat sebuah lembaga sekolah tinggi ilmu kejahatan yang dibuat pemerintah. Siapa yang ingin bejar tentang kriminalitas..?, masuklah penjara, tidak bayar dan dibiayai pemerintah. Masih ingat beberapa waktu lalu, pabrik narkoba terbongkar di Medaeng. Bagaimana mungkin pabrik narkoba bisa berdiri dari dinding penuh penjagaan ketat? Mungkin para napi tersebut sedang mempelajari mata kuliah praktikum. Tak heran jika nantinya penjara akan mencetak para penjahat-penjahat yang unggul dan Profesional.