Peraturan Daerah tentang Ketertiban Umum (Perda Tibum) dinilai sangat jauh dari rasa keadilan masyarakat. Upaya untuk menciptakan ketertiban di beberapa daerah dilakukan dengan mengabaikan kepentingan kelompok masyarakat miskin. Hal itu dapat dilihat pada sejumlah ketentuan larangan yang tercantum dalam Perda tersebut.

Bagi masyarakat miskin, mengais rezeki di jalanan atau tempat umum lain agar bisa bertahan hidup adalah pilihan satu-satunya. Sebab, mereka tidak memiliki alternatif lain yang lebih baik. Sementara kebutuhan hidup mereka tidak bisa ditunda-tunda pemenuhannya.Di bulan suci ini banyak para pengemis dan gelandangan yang memanfaatkan, mereka yang hendak memperoleh pahala lebih. Jika mereka bisa memilih, tentu tidak ada yang akan memilih menjadi orang miskin dan mencari nafkah di jalanan. Dengan kata lain, jika terbuka kesempatan lain yang lebih baik dan dapat diakses, tentu mereka tidak akan menjadi pengemis, pengamen, pedagang asongan, atau menjadi PSK.

Banyak prespektif yang menempatkan gepeng dan anak jalanan sebagai pengganggu pembangunan, bukan sebagai korban pembangunan sehingga mereka harus dihilangkan dari jalanan dan tempat umum. Raperda juga dirasa belum mengakomodasi Filosofi dasar penghormatan HAM.

Beberpa poin dalam Perda tentang Ketertiban Umum yang kiranya melanggar Hak Manusia dapat kita lihat dan rasakan. Misalnya kata “memanusiakan kembali” mengandung makna yang bias dan diskriminatif sehingga akan menimbulkan stigma dan perlakuan diskriminatif pada gepeng dan anak jalanan, karena dianggap bukan manusia.

Usaha Preventif, Represif Dan Rehabilitasi Sosial Penanganan Gelandangan, Pengemis, Anak jalanan, Pedagang Kaki Lima dan PSK dengan Razia hanyalah sebuah legitimasi untuk memgkriminalisasi gelandangan, pengemis dan anak jalanan yang memilih untuk bertahan hidup di jalanan dan tempat umum karena ketidak mampuan pemerintah untuk memenuhi hak hidup layak mereka.

Usaha diatas selama ini juga tidak membuahkan hasil. Bahkan, di lapangan, ada beberapa anak jalanan yang dirazia lebih dari 10 kali. Hal ini menunjukkan bahwa razia dan penampungan bukanlah solusi yang tepat.

Selain itu penanganan Penanganan Gelandangan, Pengemis, Anak jalanan, Pedagan Kaki Lima dan PSK dengan cara penampungan, dimana panti yang ada tidak mampu menampung seluruh gapeng dan anak jalanan.

Dilihat dari identitas diri, dimana selama ini, secara de facto, gelandangan dan pengemis merupakan warga negara Indonesia yang lahir di indonesia dan memiliki hak atas Hidup dan identitas yang sama. Namun secara de yure mereka bukanlah warga negara Indonesia karena tidak memiliki identitas yang sah sebagai warga negara.

Bagi Anak yang Mempunyai Masalah di Jalanan, usaha represif yang dilakukan pada anak jalanan bertentangan dengan KONVENSI HAK ANAK karena anak-anak diperlakukan sebagai seorang kriminal dan harus “diberi sangsi”, dalam aturan KHA, anak berhak atas hak hidup (kesehatan, identitas, tempat tinggal), hak tumbuh kembang (pendidikan, waktu luang dan akses informasi), hak perlindungan (bebas dari kekerasan dan diskriminasi) dan partisipasi (ruang-ruang untuk berpendapat) sehingga dia harus diperlakukan sebagai seorang anak. Pasal-pasal yang memuat hal ditas juga tidak mengakomodir tujuan UU Perlindungan Anak.

Terakhir larangan pemberian dalam bentuk apapun kepada gepeng, dan jika peraturan tersebut dilanggar, pemerintah akan memberikan sanksi bagi si Pemberi “belas kasihan anda menjerumuskan mereka” merupakan sebuah usaha kriminalisasi mencari kambing hitam terhadap dermawan bahkan dianggap bertentangan dengan ajaran-ajaran agama dan budaya bangsa Indonesia tentang saling mengasihi sesama. Tapi tidak adanya sangsi bagi pemerintah, jika gelandangan, pengemis dan anak jalanan tidak ada yang “memberi bantuan” dan kemudian sakit ataupun meninggal merupakan sebuah bentuk pengalihan tanggung jawab pemerintah.

Saya rasa sebuah nyawa masih sangatlah berharga. Penilaian orang pastinya berbeda-beda. Tapi semoga rasa saling tolong menolong masih dominan dinegara ini. Yang berkuasa, berkuasalah jangan ada masyarakat yang merasa tertindas dan dirugikan. Pemerintah dan masyarakat sudah saatnya duduk satu meja, pendidikan gratis sangat kita dambakan. Saya sendiri merasakan betapa mahalnya ingin menjadi orang pintar. Harapannya, tidak ada lagi anak-anak yang berkeliaran di perempatan jalan saat jam sekolah dan terputusnya rantai kemiskinan. Sehingga mereka yang dianggap sampah masyarakat merasa diperhatikan bukan dihilangkan.